Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa
shohbihi ajma’in.
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Belakangan ini
di antara kita pernah mendengar mengenai fatwa haramnya Facebook,
sebuah layanan pertemanan di dunia maya yang hampir serupa dengan
Friendster dan layanan pertemanan lainnya. Banyak yang bingung dalam
menyikapi fatwa semacam ini. Namun, bagi orang yang diberi anugerah ilmu
oleh Allah tentu tidak akan bingung dalam menyikapi fatwa tersebut.
Dalam tulisan yang singkat ini, dengan izin dan pertolongan Allah
kami akan membahas tema yang cukup menarik ini, yang sempat membuat
sebagian orang kaget. Tetapi sebelumnya, ada beberapa preface yang akan
kami kemukakan.Semoga Allah memudahkannya.
Dua Kaedah yang Mesti Diperhatikan
Saudaraku, yang semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah Allah
Ta’ala. Dari hasil penelitian dari Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama
membuat dua kaedah ushul fiqih berikut ini:
Hukum asal untuk perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah
disyari’atkan sampai Allah dan Rasul-Nya mensyari’atkan.
Sebaliknya, hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah
dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.
Untuk kaedah pertama yaitu hukum asal setiap perkara ibadah adalah
terlarang sampai ada dalil yang mensyariatkannya. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu yang diperintahkan atau dianjurkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang memerintahkan atau
menganjurkan suatu amalan yang tidak ditunjukkan oleh Al Qur’an dan
hadits, maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam beragama
(baca: berbuat bid’ah). Amalan yang dilakukan oleh orang semacam ini pun
tertolak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka
amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Namun, untuk perkara ‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman,
pakaian, pekerjaan, dan mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan
kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Dalil untuk kaedah kedua
ini adalah firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.
(QS. Al Baqarah: 29). Maksudnya, adalah Allah menciptakan segala yang
ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan. Itu berarti diperbolehkan
selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak mendatangkan bahaya.
Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ
الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat
itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 32). Dalam ayat
ini, Allah Ta’ala mengingkari siapa saja yang mengharamkan makanan,
minuman, pakaian, dan semacamnya.
Jadi, jika ada yang menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa
hukumnya? Maka jawabannya adalah “tahu” itu halal dan diperbolehkan.
Jika ada yang menanyakan lagi mengenai hukum minuman “Coca-cola”? Apa
hukumnya? Maka jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan.
Begitu pula jika ada yang menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa
hukumnya? Jawabannya adalah halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk perkara non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah
halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Makan
bangkai menjadi haram, karena dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu
pula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan karena ada dalil yang
menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk perkara non ibadah adalah
halal dan diperbolehkan.
Oleh karena itu, jika ada yang menanyakan pada kami bagaimana hukum
Facebook? Maka kami jawab bahwa hukum asal Facebook adalah sebagaimana
handphone, email, website, blog, radio dan alat-alat teknologi lainnya
yaitu sama-sama mubah dan diperbolehkan.
Hukum Sarana sama dengan Hukum Tujuan
Perkara mubah (yang dibolehkan) itu ada dua macam. Ada perkara mubah
yang dibolehkan dilihat dari dzatnya dan ada pula perkara mubah yang
menjadi wasilah (perantara) kepada sesuatu yang diperintahkan atau
sesuatu yang dilarang.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- mengatakan,
“Perkara mubah dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk
dilakukan. Namun, perkara mubah itu dapat pula mengantarkan kepada
hal-hal yang baik maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang
diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula mengantarkan pada hal yang
jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang dilarang.
Inilah landasan yang harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana
sama dengan hukum tujuan (al wasa-il laha hukmul maqhosid).”
Maksud perkataan beliau di atas:
Apabila perkara mubah tersebut mengantarkan pada kebaikan, maka
perkara mubah tersebut diperintahkan, baik dengan perintah yang wajib
atau pun yang sunnah. Orang yang melakukan mubah seperti ini akan diberi
ganjaran sesuai dengan niatnya.
Misalnya : Tidur adalah suatu hal yang mubah. Namun, jika tidur itu
bisa membantu dalam melakukan ketaatan pada Allah atau bisa membantu
dalam mencari rizki, maka tidur tersebut menjadi mustahab
(dianjurkan/disunnahkan) dan akan diberi ganjaran jika diniatkan untuk
mendapatkan ganjaran di sisi Allah.
Begitu pula jika perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yang
dilarang, maka hukumnya pun menjadi terlarang, baik dengan larangan
haram maupun makruh.
Misalnya : Terlarang menjual barang yang sebenarnya mubah namun
nantinya akan digunakan untuk maksiat. Seperti menjual anggur untuk
dijadikan khomr.
Contoh lainnya adalah makan dan minum dari yang thoyib dan mubah,
namun secara berlebihan sampai merusak sistem pencernaan, maka ini
sebaiknya ditinggalkan (makruh).
Bersenda gurau atau guyon juga asalnya adalah mubah. Sebagian ulama
mengatakan, “Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak
tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak.” Jadi, jika guyon tersebut
sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau
mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang.
Oleh karena itu, jika sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana
(perantara) menuju tujuan tadi akan memiliki hukum yang sama. Perantara
pada sesuatu yang diperintahkan, maka perantara tersebut diperintahkan.
Begitu pula perantara pada sesuatu yang dilarang, maka perantara
tersebut dilarang pula. Misalnya tujuan tersebut wajib, maka sarana yang
mengantarkan kepada yang wajib ini ikut menjadi wajib.
Contohnya : Menunaikan shalat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan
berjalan ke tempat shalat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka
karena tujuan tadi wajib, maka wasilah di sini juga ikut menjadi wajib.
Ini berlaku untuk perkara sunnah dan seterusnya.
Intinya, Hukum Facebook adalah Tergantung Pemanfaatannya
Jadi intinya, hukum facebook adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau
pemanfaatannya adalah untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat,
maka facebook pun bernilai sia-sia dan hanya membuang-buang waktu.
Begitu pula jika facebook digunakan untuk perkara yang haram, maka
hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua termasuk dalam kaedah “al
wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama dengan hukum tujuan).”
Di bawah kaedah ini terdapat kaedah derivat atau turunan lainnya yaitu:
Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yang wajib
yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi
wajib)
Maa laa yatimmul masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yang sunnah
yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi
sunnah)
Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa
menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram
tersebut menjadi haram)
Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga
dinilah makruh)
Maka lihatlah kaedah derivat yang ketiga di atas. Intinya, jika
facebook digunakan untuk yang haram dan sia-sia, maka facebook menjadi
haram dan terlarang.
Kita dapat melihat bahwa tidak sedikit di antara pengguna facebook
yang melakukan hubungan gelap di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan
jenis yang diajak berhubungan bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh,
banyak terjadi perselingkuhan karena kasus semacam ini. Jika memang
facebook banyak digunakan untuk tujuan-tujuan semacam ini, maka sungguh
kami katakan, “Hukum facebook sebagaimana hukum pemanfaatannya. Kalau
dimanfaatkan untuk yang haram, maka facebook pun menjadi haram.”
Waktu yang Sia-sia Di Depan Facebook
Saudaraku, inilah yang kami ingatkan untuk para pengguna facebook.
Ingatlah waktumu! Kebanyakan orang betah berjam-jam di depan facebook,
bisa sampai 5 jam bahkan seharian, namun mereka begitu tidak betah di
depan Al Qur’an dan majelis ilmu. Sungguh, ini yang kami sayangkan bagi
saudara-saudaraku yang begitu gandrung dengan facebook. Oleh karena itu,
sadarlah!!
Semoga beberapa nasehat ulama kembali menyadarkanmu tentang waktu dan
hidupmu.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Aku pernah bersama
dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain
dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu
tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”
Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, “Kemudian orang
sufi tersebut menyebutkan perkataan lain: Jika dirimu tidak tersibukkan
dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal
yang sia-sia (batil).” (Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya
yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk
mendapatkan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari
kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih
cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya
untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya
yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun
hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”
Ingatlah … kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal
yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu),
berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan
digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi
dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109)
Marilah Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah
Inilah pemanfaatan yang paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk
dakwah. Betapa banyak orang yang senang dikirimi nasehat agama yang
dibaca di inbox, note atau melalui link mereka. Banyak yang sadar dan
kembali kepada jalan kebenaran karena membaca nasehat-nasehat tersebut.
Oleh karena itu, jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain
apalagi dalam masalah agama, yang tentu saja dengan bekal ini akan
mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang
lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)
Dari Abu Mas’ud Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat
ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ
يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaraanmu
maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah (harta yang
paling berharga orang Arab saat itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah saudaraku, bagaimana jika tulisan kita dalam note, status,
atau link di facebook dibaca oleh 5, 1o bahkan ratusan orang, lalu
mereka amalkan, betapa banyak pahala yang kita peroleh. Jadi, facebook
jika dimanfaatkan untuk dakwah semacam ini, sungguh sangat bermanfaat.
Penutup: Nasehat bagi Para Pengguna Facebook
Imam Asy Syafi’I mengatakan, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan
hal-hal yang baik, pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia
(batil)”.( Al Jawabul Kafi, 109)
Semoga kita selalu disibukkan dengan hal yang dapat memberikan
manfaat pada orang lain. Alangkah bagusnya jika status, note dan link
yang kita berikan pada saudara-saudara kita berisi siraman-siraman
rohani. Itu lebih baik dan lebih bermanfaat dibandinga dengan mengisi
status di FB dengan hal-hal yang sia-sia atau bahkan dosa.
Kami hanya bisa berdoa kepada Allah, semoga Allah memberikan taufik
dan hidayah bagi orang yang membaca tulisan ini. Semoga kita dimudahkan
oleh Allah untuk memanfaatkan waktu dengan baik, dalam hal-hal yang
bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
Al Qowa’id wal Ushul Al Jaami’ah, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di,
Darul Wathon Lin Nasyr
Jam’ul Mahshul fi Syarhi Risalah Ibni Sya’di fil Ushul, Abdullah bin
Sholeh Al Fauzan, Dar Al Muslim
Risalah Lathifah, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Sumber: remajaislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Syukron telah berkomentar