Oleh: Abu Muhammad Abdullah Al-Munawy
Dalam suatu kesempatan Training
Motivasi yang kami ikuti, seorang trainer nasional mengatakan “ jangan engkau
bersedih dengan satu kekurangan,tetapi berbahagilah dengan sejuta kelebihan
yang Allah berikan kepadamu”. Ya, sebuah kalimat yang menggugah bagi orang
orang yang meyakini akan kelebihan yang Allah berikan kepada manusia.
Allah subhanahu wata’ala telah memuliakan
manusia dibanding makhluk-makhluk yang lain baik dari aspek fisik maupun non-fisik.
Dari segi fisik Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dengan bentuk yang
paling sempurna sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah At-Tiin ayat
4 “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya”. Sehingga tidak salah dalam sebuah kesempatan saat mengisi
kajian di Unhas, Ustadz Adian Husaini pernah mengatakan bahwa sekiranya dicari
monyet yang paling ganteng, akan lebih ganteng lagi manusia yang paling jelek”.
Walaupun kita sama-sama ketahui bahwa ukuran kemuliaan manusia tidak Allah
letakkan pada fisiknya karena setampan-tampannya dan secantik-cantiknya cowok
dan cewek korea suatu saat akan keriput dan mati juga. Ketahuilah bahwa
sebaik-baik dari kita dihadapan Allah adalah yang paling bertakwa. Begitu
firman Allah dalam A-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13 yang artinya
“…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu,…”
Lebih lanjut dari pada itu, jika
dibandingkan dengan semua makhluk ciptan Allah yang lain, manusia juga
merupakan makhluk yang paling mulia ditinjau dari sisi hakikat penciptaannya.
Manusia dianugrahi oleh Allah dengan potensi akal dan nafsu. Berbeda dengan
malaikat yang hanya diberi potensi akal oleh Allah yang di format untuk
senantiasa taat kepada Allah. Begitu pula dengan binatang hanya diberi potensi
nafsu tanpa adanya akal. Sehingga para ulama kita mengatakan bahwa manusia bisa
lebih mulia dari malaikat dan sebaliknya bisa lebih hina dari binatang. Kenapa
demikian? Tentu saja karena malaikat wajar taat kepada Allah karena memang tidak
ada potensi untuk bermaksiat. Begitu pula binatang amatlah wajar bisa melakukan sesuatu seenaknya tanpa
aturan karena memang tidak memiliki akal walaupun kadang binatang bisa bermanfaat
bagi manusia namun hal itu tidak didasari oleh akal tetapi naluri yang juga bagian
dari Ilmu Allah.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
orang yang bisa mengarahkan akalnya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulnya
serta bisa mengekang hawa nafsunya ia akan lebih mulia dari malaikat dan
sebaliknya manusia yang tidak menggunakan akal dan memperturutkan hawa nafsunya
maka orang tersebut akan lebih hina dari binatang ternak sebagaimana
digambarkan oleh Allah dalam surah Al-A’raf ayat 179 yang artinya “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”
Kembali pada goresan awal di paragraf
pertama tulisan ini bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Namun yakinlah bahwa, kelebihan yang kita punyai
jauh lebih banyak dari kekurangan kita. Inilah yang tidak
disadari oleh manusia yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi
dirinya yang dalam ilmu psikologi sering diistilahkan dengan “ self reflection”
atau refleksi diri. Kita dapati banyak orang yang terus mengeluh dengan kekurangan
yang ada dalam dirinya sehingga tidak berpikir untuk memperbaiki dirinya. Namun
ada juga orang yang hanya puas dengan satu atau beberapa kelebihannya dan tidak
mau belajar banyak dari kelebihan orang lain sehingga diapun lupa akan
kelemahan atau kekurangannya.
Beginilah prinsip hidup seorang
pembelajar abadi yang kami dapatkan dari salah seorang senior di LDK MPM Unhas
yang diilhami pula oleh SMS beliau bahwa “Teladan para ikhwa; Tujuan: 1) untuk
mengambil/copy kelebihan orang lain. 2) mengubur sifat puas dengan kelebihan
pribadi yang telah ada dan menganggap diri paling ideal, tidak jujur/objektif
atas kelebihan orang lain dan tidak mau mengambilnya. 3) memicu gerakan
percepatan perubahan kualitas diri. 4) mengubur potensi dengki,negatif thinking
(1 kesalahan tidak pantas menghapus kelebihan yang banyak). 5) mempererat
ukhuwah.
Kalau dibuat dalam bentuk rumus yang
baku, prinsip hidup seorang pembelajar sejati dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
1.
Dari
Si A, Saya belajar bagaimana pentingnya semangat dalam menggerakkan orang lain
2.
Dari
Si B, Saya belajar bagaimana bersikap tenang dan dewasa dalam berpikir dan
bertindak
3.
Dari
Si C, Saya belajar pentingnya tawadhu
4.
Dari
Si D, Saya belajar bagaimana cara menulis
5.
Dari
Si E, Saya belajar totalitas dan mujahadah dalam dakwah
6.
Dari
Si F, Saya belajar bagaimana memiliki perencanaan yang matang dalam mewujudkan
sesuatu
7.
Dari
Si G, Saya belajar tentang pentingnya akhlak dalam pergaulan
8.
Dari
Si H, Saya belajar metode kepemimpinan
9.
Dari
Si I, Saya belajar pentingnya skill komunikasi dan retorika dalam menopang
dakwah
10. Dari Si J, Saya belajar bagaimana
memanfaatkan media untuk mendukung dakwah
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
A+B+C+D+E+F+G+H+I+J = SAYA
Namun
perlu diingat sebagai catatan penting bahwa tidak ada manusia yang ma’sum tanpa
noda dan dosa di dunia ini kecuali Rasulullah Muhammad Shallallhu ‘alaihi
Wasallam, apatah lagi di zaman yang penuh fitnah dan ujian ini, kadang kita
melihat seseorang begini awalnya, namun lain waktu orang tersebut berlaku
begini, jadi begini dan begitulah, sebagaimana perkataan imam Adz-Zahabi Rahimahullah
“ Kesempurnaan bagi manusia adalah dusta”. Begitu pula perkataan dari Fudhail
bin ‘Iyad Rahimahullah “ Kalau kalian ingin mencari teman yang tanpa cacat
(kekurangan) maka lebih pantas kalian tinggal sendiri karena kalian tidak akan
pernah mendapatkan teman” Yang jelas hanya Allah kemudian diri kita sendirilah
yang tahu bagaimana diri kita sebenarnya. Wallahu a’lam bi Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Syukron telah berkomentar