Manusia adalah makhluq yang dianugerahi
nafsu dan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan nafsu tersebut.
Banyak diantara mereka yang berhasil mengendalikan nafsunya dan berusaha
memenuhi kebutuhannya hanya dengan perkara-perkara yang telah dihalalkan oleh
Allah -Subhanahu wa ta’ala-, akan tetapi banyak pula yang justru dikendalikan
nafsu sehingga nafsu menjadi sesembahannya. Allah -Subhanahu wa ta’ala-
berfirman yang artinya :
43. Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya? (QS. Al-Furqan).
Kebutuhan nafsu yang terpenting dan
harus dipenuhi manusia adalah kebutuhan biologis (hubungan sexual). Allah
-Subhanahu wa ta’ala- sebagai pencipta dan yang Maha Mengetahui tentang
ciptaannya telah menyiapkan sarana pemenuhan kebutuhan tersebut secara halal
yaitu dengan pernikahan atau budak wanita yang dimiliki. Akan tetapi banyak
diantara manusia yang justru lebih memilih jalan lain yang keji dan telah
diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala-, yaitu dengan berzina atau
homoseksual (liwath). Bahkan mereka menghias-hiasi perbuatan keji
tersebut dengan berbagai syubhat agar terlihat manis dan indah.
Perbuatan keji yang sejak masa awal Islam telah diperjuangkan oleh para
penyembah nafsu adalah zina yang berkedok nikah (nikah mut’ah) atau yang
lazim disebut sebagai kawin kontrak.
Nikah mut’ah menjadi sebuah keyakinan
beragama yang harus dilakukan oleh orang-orang syi’ah. Ajaran ini sangat
menggiurkan bagi para muda-mudi terutama mahasiswa dan mahasiswi untuk
melampiaskan hasrat nafsunya[2]. Orang-orang bodoh selain Syi’ah juga banyak
melakukan perbuatan ini karena besarnya nafsu mereka kemudian tertipu dengan
indahnya syari’at buatan syi’ah ini. Apalagi jika yang melakukannya adalah
orang-orang Arab yang berkunjung ke Indonesia pada musim liburan ditambah
dengan kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat menjadikan mereka
semakin bersemangat ketika ditawari menikah dengan orang Arab yang secara
ekonomi lebih mampu dari mereka.[3] Hal ini pernah diliput oleh sebuah reality
show di salah satu televisi swasta yang secara khusus membahas maraknya
pernikahan model mut’ah ini oleh orang-orang Arab di Indonesia. Selain itu,
masih banyak kalangan umat Islam yang terpengaruh syubhat bahwa nikah mut’ah
dibolehkan pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dan baru
diharamkan oleh khalifah Umar bin Khathab -Radiallahu anhu- melalui ijtihadnya.
Makalah ini membahas dalil yang menjadi sumber syubhat tersebut di atas beserta
pemahaman yang benar terhadap dalil tersebut.
PENGERTIAN NIKAH MUT’AH
Nikah secara bahasa artinya
berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syari’at secara hakekat adalah akad
(nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut
pendapat yang shahih[4], karena tidak diketahui sesuatupun
tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali
untuk makna at-tazwiij (perkawinan).[5]
Kata mut’ah dan derivasinya
disebutkan sebanyak 71 kali dalam Al-Qur’an, dalam surat yang berbeda-beda,
walaupun maknanya bermacam-macam tetapi kembali kepada satu pokok seputar
pengambilan manfaat atau keuntungan.[6] Menurut istilah, nikah mut’ah adalah
seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan sesuatu dari harta untuk
jangka waktu tertentu, pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut tanpa adanya perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat
tinggal serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya
meninggal sebelum berakhirnya masa pernikahan.[7] Pernikahan ini juga tidak
mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali,
dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak.[8]
DALIL SUMBER SYUBHAT DAN PEMAHAMAN YANG
BENAR
Syubhat berikut ini adalah syubhat yang
banyak beredar di kalangan Ahli Sunnah yaitu syubhat bahwa nikah mut’ah
diperbolehkan pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dan baru
diharamkan melalui ijtihad sahabat Umar bin Khathab -Radiallahu anhu- ketika
beliau menjadi khalifah. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Jabir bin
Abdillah -Radiallahu anhu- berikut.
قال مسلم[9]: حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى أَبُو
الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ كُنَّا
نَسْتَمْتِعُ بِالْقُبْضَةِ مِنَ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ
فِى شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ.
Imam Muslim berkata: telah berkata
kepadaku Muhammad bin Rafi’, berkata kepada kami ‘Abdurrazzaq, mengabarkan
kepada kami Ibnu Juraij, mengabarkan kepadaku Abu Zubair, dia berkata: saya mendengar
Jabir bin Abdillah berkata: “Kami dahulu nikah mut’ah dengan mahar segenggam
kurma atau tepung pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- juga Abu
Bakar sampai Umar melarangnya pada perkara ‘Amr bin Huraits”.
1. Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam
Muslim[10] dalam shahihnya pada kitab 16. An-Nikah Bab 3. Nikah
Mut’ah…, ‘Adurrazaq dalam mushnafnya dari jalan Abu Zubair[11], Abu ‘Uwanah
dalam mustakhrajnya dari jalan Ad-Dabari dari ‘Abdurrazzaq[12], dan Al-Baihaqi
dalam sunannya dari jalan Abu Abdillah dari Abul Walid dari Ibrahim bin Abi
Thalib dari Muhammad bin Rafi’[13].
2 Syubhat Hadits
Hadits shahih di atas bagi sebagian
orang merupakan dalil yang kuat untuk mengatakan bahwa nikah mut’ah pada masa
Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- diperbolehkan, demikian juga pada masa
Abu Bakar -Radiallahu anhu-. Nikah mut’ah baru dilarang oleh Khalifah
Umar -Radiallahu anhu- melalui ijtihadnya. Dalil lain yang mendukung syubhat
ini adalah riwayat berikut.
أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه خرج ليلة يحرس
الناس فمر بامرأة وهي في بيتها وهي تقول :
( تطاول هذا الليل واسود
جانبه وطال علي ألا خليل ألاعبه )
( فوالله لولا خشية الله وحده لحرك من هذا السرير
جوانبه )
فلمل أصبح عمر أرسل إلى المرأة فسأل عنها فقيل :
هذه فلانة بنت فلان وزوجها غاز في سبيل الله فأرسل إليها امرأة فقال : كوني معها
حتى يأتي زوجها وكتب إلى زوجها فأقفله ثم ذهب إلى حفصة بنته فقال لها يا بنية ! كم
تصبر المرأة عن زوجها ؟ فقالت له : يا أبه ! يغفر الله لك أمثلك يسأل مثلي عن هذا
؟ فقال لها : إنه لولا أنه شيء أريد أن أنظر فيه للرعية ما سألتك عن هذا قالت :
أربعة أشهر أو خمسة أشهر أو ستة أشهر فقال عمر : يغزو الناس يسيرون شهرا ذاهبين
ويكونون في غزوهم أربعة أشهر ويقفلون شهرا فوقت ذلك للناس من سنتهم في غزوهم
“Bahwasanya
Umar bin Khathab -Radiallahu anhu- keluar pada suatu malam menjaga (sidak)
manusia, maka dia melewati seorang wanita di dalam rumahnya berkata:
‘Malam
ini begitu lama, sisi-sisinya begitu hitam, menjadi semakin lama pula atasku,
tanpa ada kekasih yang bercumbu dengannya. Demi Allah, seandainya bukan karena
rasa takut terhadap Allah semata, pastilah sisi-sisi tempat tidur ini sudah
bergerak-gerak’. Maka ketika pagi Umar mengirim utusan kepada wanita tersebut
dan bertanya tentangnya, maka dikatakan: ini adalah Fulanah binti Fulan, suami
berperang dijalan Allah, maka Umar mengirim seorang wanita kepanya dengan
berkata: ‘tinggallah kamu bersamanya sampai suaminya datang’, dan Umar menulis
kepada suaminya lalu pulang kemudian pergi kepada Hafshah putrinya dan berkata
kepadanya: ‘wahai putriku! Berapa lama seorang wanita sabar ditinggal
suaminya?’ Maka dia menjawab: ‘Wahai ayahanda! Semoga Allah mengampuni Anda,
orang seperti Anda bertanya kepada orang sepertiku tentang masalah ini?’ Umar
Menjwab: ‘seandainya bukan karena aku ingin melihat urusan kaum muslimin, aku
tidak akan bertanya kepadamu’. Dia menjawab: ’empat bulan atau lima bulan atau
enam bulan’. Maka Umar berkata: ‘Manusia akan berperang (maksimal) selama satu
bulan perjalanan berangkat, dalam medan perang selama empat bulan dan pulang
selama satu bulan, dan ini adalah waktu yang menjadi ketetapan manusia dalam
berperang’”[14]
Riwayat tersebut di atas dipahami oleh
sebagian orang bahwa Khalifah Umar pada awalnya mengirimkan pasukan perang
dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan kebutuhan biologis mereka dapat
dipenuhi dengan melakukan nikah mut’ah selama dalam masa tugas tersebut. Ketika
Khalifah Umar mendengar keluhan seorang wanita yang ditinggal suaminya
berjihad, akhirnya ia mengubah kebijakannya dengan membatasi masa tugas
prajurit dan mengharamkan nikah mut’ah
3. Pemahaman yang Benar terhadap Hadits
Hadits sahabat Jabir
di atas oleh para Ulama telah dijelaskan bahwa hadits tersebut bukanlah dalil
tentang bolehnya nikah mut’ah. Hal ini karena hadits tersebut telah dihapus
dengan dalil-dalil lain yang lebih shahih dan sharih dalam
masalah ini. Syubhat tersebut sebenarnya juga berasal dari Syi’ah yang berusaha
mencari pembenaran aqidah mereka dari dalil-dalil Ahli Sunnah. Al-‘Alamah Dr.
Musa al-Musawi menjelaskan masalah ini sebagai berikut.
Para ahli fiqh Syi’ah
–semoga Allah memaafkan mereka- berkata: sesungguhnya mut’ah adalah boleh pada
masa Rasulullah yang mulia -Shalallahu alaihi wa salam- dan pada masa Khalifah
Abu Bakar dan pada setengah masa Khalifah Umar bin Khathab sampai Umar
melarangnya dan memerintahkan kaum muslimin berhenti dari padanya, dan mereka
mengambil dalil atas hal ini dengan berbagai riwayat yang diriwayatkan dalam
kitab-kitab Syi’ah dan sebagian kitab-kitab Sunnah.
Adapaun firqah-firqah
Islam yang lain maka mereka mengatakan bahwasanya mut’ah adalah adat jahiliyyah
yang dilakukan manusia pada tahun-tahun awal kerasulan sampai Nabi -Shalallahu
alaihi wa salam- memerintahkan tentang keharamannya pada perang Khaibar atau
Haji Wada’, keadannya seperti keadaan khamr yang diharamkan beberapa
tahun setelah diutusnya Nabi yang mulia dan telah turun tentangnya ayat-ayat
pengharaman.[1]
Imam Muslim yang
meriwayatkannya memasukkan hadits tersebut ke dalam bab Nikahil
mut’ah wa bayani annahu ubiha tsumma nusikha tsumma ubiha tsumma nusikha
wastaqarra tahrimuhu ila yaumil qiyamah. Imam Nawawi mengomentari hadits
Jabir tersebut dalam syarahnya bahwa orang-orang yang melakukan mut’ah pada
masa Abu Bakar dan Umar belum sampai kepada mereka ini penghapusan[2]. Ibnu
Hajar al-‘Asqalani mempertegas masalah ini dengan berkata: “Yang paling
sempurna hendaknya dikatakan: boleh jadi Jabir dan orang-orang yang menukil
darinya, terus-menerusnya mereka dalam nikah mut’ah setelah larangan Rasulullah
-Shalallahu alaihi wa salam- sampai Umar (dengan tegas) melarangnya adalah karena
belum sampainya larangan tersebut kepada mereka”[3]
Hal tersebut menjadi
jelas ketika Amirul Mu’minin Umar -Radiallahu anhu- dengan tegas berpidato di
atas mimbar dan menyampaikan bahwa mut’ah sudah dilarang oleh Rasulullah
-Shalallahu alaihi wa salam- ketika beliau masih hidup, tidak seorangpun dari
para sahabat yang menentangnya termasuk juga Jabir sehingga hukum haramnya
mut’ah ini menjadi ijma’ seluruh sahabat y[4]. Ijma’ sahabat termasuk sumber
hukum syari’at Islam yang wajib diikuti dan menyelisihi mereka tidak perlu
diperhitungkan lagi[5].
Riwayat yang dianggap
sebagai pendukung masalah ini di atas -sejauh yang penulis ketahui- tidak ada
yang menyatakan bolehnya mut’ah sebelum ada kebijakan pembatasan masa tugas
tersebut. Seandainya pun ada maka cukuplah dalil-dalil shahih dan
sharih berikut ini sebagai landasan bahwa hukum bolehnya mut’ah telah
dihapus oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala- dan Rasulnya -Shalallahu alaihi wa
salam-.
DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKAN NIKAH
MUT’AH
1. Al-Qur’an
“dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa
mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
(QS. Al-Mu’minun: 5 – 7 dan QS. Al-Ma’arij: 29 – 31)
Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan
bahwa Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengharamkan atas orang-orang mu’min
segala macam kemaluan kecuali kemaluan yang telah Allah -Subhanahu wa ta’ala-
halalkan melalui akad pernikahan yang syar’i atau budak yang dimiliki.[6]
Sedangkan apabila seseorang berada diatas seorang wanita secara mut’ah maka
wanita tersebut bukanlah istrinya yang sah karena tidak dinikahi.[7] Ada 20
perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir al-Muhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil
Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri
atau budak yang dimiliki.[8] Perbedaan tersebut adalah :
- Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan
- Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan mut’ah
- Boleh mut’ah lebih dari 4 wanita bahkan ribuan
- Mut’ah selesai (jika habis masanya) tanpa ada perceraian
- Pasangan mut’ah boleh kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah diselingi pasangan lain ataupun tidak
- Boleh mut’ah dengan wanita musyrik
- ‘Iddah mut’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan
- Wanita yang dimut’ah mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada pasangannya
- Orang yang mut’ah tidak dianggap sebagai orang yang sudah menikah (muhshan)
- Boleh mut’ah dengan wanita yang memiliki suami
- Boleh mut’ah dengan pelacur
- Boleh mut’ah dengan gadis selama tidak merusak kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang masih menyusui[9])
- Tidak ada li’an[10] dalam mut’ah
- Tidak ada dhihar[11] dalam mut’ah
- Tidak ada ila’[12] dalam mut’ah
- Tidak ada nafkah bagi wanita yang dimut’ah
- Tidak ada tempat tinggal bagi wanita dalam mut’ah
- Boleh mensyaratkan dalam mut’ah untuk tidak melakukan jima’
- Boleh melakukan ‘azl dalam mut’ah tanpa harus izin kepada wanita yang dimut’ah
- Tidak ada khulu’[13] dalam mut’ah
- Boleh mut’ah dengan saudari istri sendiri (ipar)[14]
Banyaknya perbedaan
antara wanita yang dimut’ah dengan wanita yang dinikahi atau budak yang
dimiliki memperjelas bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak,
sehingga mut’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya
termasuk melampaui batas. Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas
diturunkan (ketika Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- hidup) maka menjadi haram
hukum mut’ah.
2.As-Sunnah
Hadits-hadits shahih
yang menyatakan bahwa mut’ah haram sejak Rasulullah -Shalallahu alaihi wa
salam- hidup sangat banyak. Diantara hadits-hadits tersebut adalah sebagai
berikut.
Hadits pertama.
عن محمد بن علي عن علي بن أبي طالب :
” أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر ، وعن
أكل لحوم الحمر الإنسية
Dari Muhammad bin ‘Ali dari ‘Ali bin
Abi Thalib: “bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- melarang mut’ah
dengan wanita pada hari (perang) Khaibar, dan juga melarang memakan daging
keledai jinak.”[15]
Riwayat tersebut di atas selain
diriwayatkan oleh para imam ahli hadits Ahlus Sunnah, juga telah diriwayatkan
dalam kitab-kitab Syi’ah. Husain al-Musawi, seorang ulama Syi’ah yang telah
bertaubat menulis kesaksiannya dalam kitab Lillah tsumma lit Tarikh[16],
tentang riwayat tersebut di atas dalam kitab-kitab Syi’ah. Riwayat tersebut
berbunyi:
قال أمير المؤمنين صلوات الله عليه:) حرم رسول الله صلى الله عليه
وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة
( انظر (التهذيب 2/186)، (الاستبصار 2/142)، (وسائل
الشيعة 14/441).
Berkata Amirul Mu’minin shalawatullah
‘alaih : “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah mengharamkan pada
hari (perang) Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah” (Lihat at-Tahdzib
2/186, al-Istibshar 2/142, Wasailus Syi’ah 14/441)[17]
Perang khaibar
terjadi pada Bulan Muharram tahun 7 H dan termasuk perang yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-[18]. Maka tidak samar
lagi bahwa keharaman mut’ah telah disampaikan langsung oleh Rasulullah
-Shalallahu alaihi wa salam- kepada para sahabatnya y. Bahkan Imam terbesar
Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib -Radiallahu anhu- sendiri yang menyampaikan riwayat
tersebut dari Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-.
Hadits kedua.
عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَامَ أَوْطَاسٍ فِى الْمُتْعَةِ
ثَلاَثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا.
Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya, ia
berkata: “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah memberi rukhshakh
(keringanan) pada tahun Authas tentang mut’ah sebanyak 3 kali kemudian
melarang atasnya”[19]
Nikah mut’ah pada masa jahiliyyah
hukumnya adalah mubah.[20] Pada masa awal Islam hal ini masih
diperbolehkan[21], kemudian datang syari’at Islam yang sempurna untuk menghapus
hukum tersebut. Lafadz (رخص)
menunjukkan bahwa pada dasarnya mut’ah itu terlarang, kemudian dibolehkan
secara rukhshakh (darurat). Hal ini disebabkan para sahabat dalam
peperangan yang melelahkan tidak dapat melampiaskan hajatnya, sehingga sebagian
mereka berkeinginan untuk mengebiri diri mereka sendiri. Ibaratnya adalah
seperti orang yang kelaparan dan ia tidak mendapatkan sesuatu apapun untuk
dimakan selain daging babi, maka dalam kondisi darurat ini dibolehkan baginya memakan
babi tersebut.[22] Oleh karena itu nikah mut’ah yang terjadi pada masa
Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dilaksanakan sama seperti pernikahan
syar’i pada umumnya, hanya saja disana ada pembatasan waktu pernikahan.[23]
Kemudian Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- mencabut rukhshakh tersebut
dengan lafadz (ثم نها عنها).[24]
Hadits ketiga
عَنْ الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ أَنَّ
أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَ « يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى
الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَىْءٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
».
Dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani
bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwasanya dia pernah bersama Rasulullah
-Shalallahu alaihi wa salam- maka beliau bersabda: “wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku pernah mengijinkan bagi kalian mut’ah dengan wanita, dan sesungguhnya
Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengharamkan mut’ah tersebut sampai hari
kiamat. Barang siapa yang memiliki sesuatu (ikatan mut’ah) dengan wanita-wanita
maka hendaknya ia lepaskan jalannya dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa
yang telah kalian berikan kepada mereka.”[25]
Hadits di atas
semakin menguatkan bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Allah -Subhanahu wa
ta’ala- melalui lisan Rasul-Nya yang mulia -Shalallahu alaihi wa salam-.
Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- mengumumkan larangan tersebut pada hari
Fathu Makkah. Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap shahih Muslim
menjelaskan panjang lebar tentang pendapat para Ulama dalam masalah ini.
Ringkasnya adalah mut’ah pada awal Islam diperbolehkan, kemudian diharamkan
pada perang Khaibar, kemudian dibolehkan lagi selama 3 hari pada perang Fathu
Makkah yaitu pada hari Authas kemudian diharamkan pada hari itu juga
dengan pengharaman selama-lamanya sampai hari kiamat[26]. Dan penegasan
keharaman ini disampaikan lagi oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-
pada haji wada’[27].
Hadits sahabat Jabir -Radiallahu anhu-
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya secara hukum telah dihapus
oleh dalil-dalil lain yang lebih shahih dan sharih. Mut’ah secara jelas telah
terbukti diharamkan langsung oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala- baik melalui
firman-Nya dalam Al-Qur’an maupun melalui lisan Nabi-Nya -Shalallahu alaihi wa
salam-. Hal tersebut telah menjadi ijma’ sahabat Rasulullah -Shalallahu alaihi
wa salam-.
Sumber : http://www.gensyiah.com
[1]
Makalah ini disampaikan untuk presentasi mata kuliah Studi Hadis oleh Harno
Purwanto pada Jurusan Magister Pemikiran Islam UMS-DDII.
[2] Andita dan Dwi Nugroho, Kawinilah
Aku, Kau Kukontrak (Media Indonesia: 5 Oktober 1997) dalam Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Mengapa Kita Menolak Syi’ah
(Jakarta: LPPI. Cet V. 2002) hlm. 259-260
[3] Internet, Media Arab Bahas Maraknya Nikah Mut’ah di Indonesia (http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9132:media-arab-bahas-maraknya-nikah-mutah-di-indonesia&catid=1:nasional&Itemid=54). Masalah ini juga sudah ditulis secara berseri pada berita utama (halaman muka) harian Jawa Pos selama 3 hari beruntun tanggal 11-13 Mei 2009 oleh Agung Putu Iskandar, Pergi ke Puncak ketika Musim Turis Timur Tengah Tiba (1-3). (http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=68557)
[4] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah) j. 14, hlm. 288
[3] Internet, Media Arab Bahas Maraknya Nikah Mut’ah di Indonesia (http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9132:media-arab-bahas-maraknya-nikah-mutah-di-indonesia&catid=1:nasional&Itemid=54). Masalah ini juga sudah ditulis secara berseri pada berita utama (halaman muka) harian Jawa Pos selama 3 hari beruntun tanggal 11-13 Mei 2009 oleh Agung Putu Iskandar, Pergi ke Puncak ketika Musim Turis Timur Tengah Tiba (1-3). (http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=68557)
[4] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah) j. 14, hlm. 288
[5] Muhammad bin Mukarram al-Mishri, Lisanul
‘Arab (Beirut: Dar Shadir, cet I, TT) j. 2, hlm. 625
[6] Yusuf Jabir al-Muhammady, Tahrimul
Mut’ah fil Kitabi was Sunnah (http://www.ansar.org/books/Motaa.zip) hlm. 5
[7] Sulaiman bin Shalih al-Khurrasyi, al-Farqu
baina: Zawajil Musayyar wa Zawajil Mut’ah waz Zawajil ‘urfi (http://www.saaid.net/Warathah/Alkharashy/m/74.htm)
[8] Mamduh Farhan al-Buhairi, asy-Syi’ah
Minhum ‘Alaihim (Indonesia: Dar al-Faruq lin Nasyr wat Tauzi’, cet I, 1422
H) hlm. 208
[9] Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Indonesia: Maktabah Dahlan, TT), j. 2 hlm. 1022, hadits no 16
(1405) dan Maktabah Syamilah j. 9 hlm. 102 hadits no 3482
[10] Penentuan hukum hadits ini
mengikuti metode tesis hadits Universitas Yordania tahun 1996 M yang ditulis
‘Ali bin Ibrahim bin Su’ud ‘Ajin, Mukhalafatul Kuffar fis Sunnah
an-Nabawiyyah (Aman: Darul Ma’ali, 1419 H), hlm. 9, dia berkata: “Apabila
hadits tersebut berasal dari Ash-Shahihain atau dari salah satunya maka
saya tidak menghukumi atasnya karena peneriamaan umat pada keduanya dengan
sebenar-benar penerimaan .”
[11] ‘Adurrazzaq ash-Shan’ani, Mushnaf
‘Abdirrazzaq (Maktabah Syamilah), j. 7, hlm. 500 no. 14028
[12] Abu ‘Uwanah, Mustakhraj Abi
‘Uwanah (Maktabah Syamilah), j. 8, hlm. 372, no. 3331
[13] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin
‘Ali al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi (Maktabah Syamilah), j. 2, hlmn. 253,
no. 14758.
[14] Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id
bin Manshur (Maktabah Syamilah), j. 2, hlm. 174, no. 2463, lihat juga
Abdurrazaq, Mushnaf Abdirrazaq (Maktabah Syamilah), j. 7, hlm. 152, no.
12594 dan Majalah Qiblati Ed 02 tahun IV/ November 2008, hlm. 56-57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Syukron telah berkomentar