Senin, 23 Januari 2012

Nikah Mut'ah


Manusia adalah makhluq yang dianugerahi nafsu dan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan nafsu tersebut. Banyak diantara mereka yang berhasil mengendalikan nafsunya dan berusaha memenuhi kebutuhannya hanya dengan perkara-perkara yang telah dihalalkan oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala-, akan tetapi banyak pula yang justru dikendalikan nafsu sehingga nafsu menjadi sesembahannya. Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman yang artinya :
43. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS. Al-Furqan).
Kebutuhan nafsu yang terpenting dan harus dipenuhi manusia adalah kebutuhan biologis (hubungan sexual). Allah -Subhanahu wa ta’ala- sebagai pencipta dan yang Maha Mengetahui tentang ciptaannya telah menyiapkan sarana pemenuhan kebutuhan tersebut secara halal yaitu dengan pernikahan atau budak wanita yang dimiliki. Akan tetapi banyak diantara manusia yang justru lebih memilih jalan lain yang keji dan telah diharamkan oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala-, yaitu dengan berzina atau homoseksual (liwath). Bahkan mereka menghias-hiasi perbuatan keji tersebut dengan berbagai syubhat agar terlihat manis dan indah. Perbuatan keji yang sejak masa awal Islam telah diperjuangkan oleh para penyembah nafsu adalah zina yang berkedok nikah (nikah mut’ah) atau yang lazim disebut sebagai kawin kontrak.

Nikah mut’ah menjadi sebuah keyakinan beragama yang harus dilakukan oleh orang-orang syi’ah. Ajaran ini sangat menggiurkan bagi para muda-mudi terutama mahasiswa dan mahasiswi untuk melampiaskan hasrat nafsunya[2]. Orang-orang bodoh selain Syi’ah juga banyak melakukan perbuatan ini karena besarnya nafsu mereka kemudian tertipu dengan indahnya syari’at buatan syi’ah ini. Apalagi jika yang melakukannya adalah orang-orang Arab yang berkunjung ke Indonesia pada musim liburan ditambah dengan kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat menjadikan mereka semakin bersemangat ketika ditawari menikah dengan orang Arab yang secara ekonomi lebih mampu dari mereka.[3] Hal ini pernah diliput oleh sebuah reality show di salah satu televisi swasta yang secara khusus membahas maraknya pernikahan model mut’ah ini oleh orang-orang Arab di Indonesia. Selain itu, masih banyak kalangan umat Islam yang terpengaruh syubhat bahwa nikah mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dan baru diharamkan oleh khalifah Umar bin Khathab -Radiallahu anhu- melalui ijtihadnya. Makalah ini membahas dalil yang menjadi sumber syubhat tersebut di atas beserta pemahaman yang benar terhadap dalil tersebut.

PENGERTIAN NIKAH MUT’AH
Nikah secara bahasa artinya berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syari’at secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih[4], karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan).[5]
Kata mut’ah dan derivasinya disebutkan sebanyak 71 kali dalam Al-Qur’an, dalam surat yang berbeda-beda, walaupun maknanya bermacam-macam tetapi kembali kepada satu pokok seputar pengambilan manfaat atau keuntungan.[6] Menurut istilah, nikah mut’ah adalah seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu, pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut tanpa adanya perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum berakhirnya masa pernikahan.[7] Pernikahan ini juga tidak mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak.[8]

DALIL SUMBER SYUBHAT DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Syubhat berikut ini adalah syubhat yang banyak beredar di kalangan Ahli Sunnah yaitu syubhat bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dan baru diharamkan melalui ijtihad sahabat Umar bin Khathab -Radiallahu anhu- ketika beliau menjadi khalifah. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Jabir bin Abdillah -Radiallahu anhu- berikut.
قال مسلم[9]: حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقُبْضَةِ مِنَ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِى شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ.
Imam Muslim berkata: telah berkata kepadaku Muhammad bin Rafi’, berkata kepada kami ‘Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, mengabarkan kepadaku Abu Zubair, dia berkata: saya mendengar Jabir bin Abdillah berkata: “Kami dahulu nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- juga Abu Bakar sampai Umar melarangnya pada perkara ‘Amr bin Huraits”.

1. Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim[10] dalam shahihnya pada kitab 16. An-Nikah Bab 3. Nikah Mut’ah…, ‘Adurrazaq dalam mushnafnya dari jalan Abu Zubair[11], Abu ‘Uwanah dalam mustakhrajnya dari jalan Ad-Dabari dari ‘Abdurrazzaq[12], dan Al-Baihaqi dalam sunannya dari jalan Abu Abdillah dari Abul Walid dari Ibrahim bin Abi Thalib dari Muhammad bin Rafi’[13].

2 Syubhat Hadits
Hadits shahih di atas bagi sebagian orang merupakan dalil yang kuat untuk mengatakan bahwa nikah mut’ah pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- diperbolehkan, demikian juga pada masa Abu Bakar -Radiallahu anhu-. Nikah mut’ah baru dilarang oleh Khalifah Umar -Radiallahu anhu- melalui ijtihadnya. Dalil lain yang mendukung syubhat ini adalah riwayat berikut.
أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه خرج ليلة يحرس الناس فمر بامرأة وهي في بيتها وهي تقول :
( تطاول هذا الليل واسود جانبه وطال علي ألا خليل ألاعبه )
( فوالله لولا خشية الله وحده لحرك من هذا السرير جوانبه )
فلمل أصبح عمر أرسل إلى المرأة فسأل عنها فقيل : هذه فلانة بنت فلان وزوجها غاز في سبيل الله فأرسل إليها امرأة فقال : كوني معها حتى يأتي زوجها وكتب إلى زوجها فأقفله ثم ذهب إلى حفصة بنته فقال لها يا بنية ! كم تصبر المرأة عن زوجها ؟ فقالت له : يا أبه ! يغفر الله لك أمثلك يسأل مثلي عن هذا ؟ فقال لها : إنه لولا أنه شيء أريد أن أنظر فيه للرعية ما سألتك عن هذا قالت : أربعة أشهر أو خمسة أشهر أو ستة أشهر فقال عمر : يغزو الناس يسيرون شهرا ذاهبين ويكونون في غزوهم أربعة أشهر ويقفلون شهرا فوقت ذلك للناس من سنتهم في غزوهم
“Bahwasanya Umar bin Khathab -Radiallahu anhu- keluar pada suatu malam menjaga (sidak) manusia, maka dia melewati seorang wanita di dalam rumahnya berkata:
‘Malam ini begitu lama, sisi-sisinya begitu hitam, menjadi semakin lama pula atasku, tanpa ada kekasih yang bercumbu dengannya. Demi Allah, seandainya bukan karena rasa takut terhadap Allah semata, pastilah sisi-sisi tempat tidur ini sudah bergerak-gerak’. Maka ketika pagi Umar mengirim utusan kepada wanita tersebut dan bertanya tentangnya, maka dikatakan: ini adalah Fulanah binti Fulan, suami berperang dijalan Allah, maka Umar mengirim seorang wanita kepanya dengan berkata: ‘tinggallah kamu bersamanya sampai suaminya datang’, dan Umar menulis kepada suaminya lalu pulang kemudian pergi kepada Hafshah putrinya dan berkata kepadanya: ‘wahai putriku! Berapa lama seorang wanita sabar ditinggal suaminya?’ Maka dia menjawab: ‘Wahai ayahanda! Semoga Allah mengampuni Anda, orang seperti Anda bertanya kepada orang sepertiku tentang masalah ini?’ Umar Menjwab: ‘seandainya bukan karena aku ingin melihat urusan kaum muslimin, aku tidak akan bertanya kepadamu’. Dia menjawab: ’empat bulan atau lima bulan atau enam bulan’. Maka Umar berkata: ‘Manusia akan berperang (maksimal) selama satu bulan perjalanan berangkat, dalam medan perang selama empat bulan dan pulang selama satu bulan, dan ini adalah waktu yang menjadi ketetapan manusia dalam berperang’”[14]
Riwayat tersebut di atas dipahami oleh sebagian orang bahwa Khalifah Umar pada awalnya mengirimkan pasukan perang dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan kebutuhan biologis mereka dapat dipenuhi dengan melakukan nikah mut’ah selama dalam masa tugas tersebut. Ketika Khalifah Umar mendengar keluhan seorang wanita yang ditinggal suaminya berjihad, akhirnya ia mengubah kebijakannya dengan membatasi masa tugas prajurit dan mengharamkan nikah mut’ah


3. Pemahaman yang Benar terhadap Hadits
Hadits sahabat Jabir di atas oleh para Ulama telah dijelaskan bahwa hadits tersebut bukanlah dalil tentang bolehnya nikah mut’ah. Hal ini karena hadits tersebut telah dihapus dengan dalil-dalil lain yang lebih shahih dan sharih dalam masalah ini. Syubhat tersebut sebenarnya juga berasal dari Syi’ah yang berusaha mencari pembenaran aqidah mereka dari dalil-dalil Ahli Sunnah. Al-‘Alamah Dr. Musa al-Musawi menjelaskan masalah ini sebagai berikut.
Para ahli fiqh Syi’ah –semoga Allah memaafkan mereka- berkata: sesungguhnya mut’ah adalah boleh pada masa Rasulullah yang mulia -Shalallahu alaihi wa salam- dan pada masa Khalifah Abu Bakar dan pada setengah masa Khalifah Umar bin Khathab sampai Umar melarangnya dan memerintahkan kaum muslimin berhenti dari padanya, dan mereka mengambil dalil atas hal ini dengan berbagai riwayat yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah dan sebagian kitab-kitab Sunnah.
Adapaun firqah-firqah Islam yang lain maka mereka mengatakan bahwasanya mut’ah adalah adat jahiliyyah yang dilakukan manusia pada tahun-tahun awal kerasulan sampai Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- memerintahkan tentang keharamannya pada perang Khaibar atau Haji Wada’, keadannya seperti keadaan khamr yang diharamkan beberapa tahun setelah diutusnya Nabi yang mulia dan telah turun tentangnya ayat-ayat pengharaman.[1]
Imam Muslim yang meriwayatkannya memasukkan hadits tersebut ke dalam bab Nikahil mut’ah wa bayani annahu ubiha tsumma nusikha tsumma ubiha tsumma nusikha wastaqarra tahrimuhu ila yaumil qiyamah. Imam Nawawi mengomentari hadits Jabir tersebut dalam syarahnya bahwa orang-orang yang melakukan mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar belum sampai kepada mereka ini penghapusan[2]. Ibnu Hajar al-‘Asqalani mempertegas masalah ini dengan berkata: “Yang paling sempurna hendaknya dikatakan: boleh jadi Jabir dan orang-orang yang menukil darinya, terus-menerusnya mereka dalam nikah mut’ah setelah larangan Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- sampai Umar (dengan tegas) melarangnya adalah karena belum sampainya larangan tersebut kepada mereka”[3]
Hal tersebut menjadi jelas ketika Amirul Mu’minin Umar -Radiallahu anhu- dengan tegas berpidato di atas mimbar dan menyampaikan bahwa mut’ah sudah dilarang oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- ketika beliau masih hidup, tidak seorangpun dari para sahabat yang menentangnya termasuk juga Jabir sehingga hukum haramnya mut’ah ini menjadi ijma’ seluruh sahabat y[4]. Ijma’ sahabat termasuk sumber hukum syari’at Islam yang wajib diikuti dan menyelisihi mereka tidak perlu diperhitungkan lagi[5].

Riwayat yang dianggap sebagai pendukung masalah ini di atas -sejauh yang penulis ketahui- tidak ada yang menyatakan bolehnya mut’ah sebelum ada kebijakan pembatasan masa tugas tersebut. Seandainya pun ada maka cukuplah dalil-dalil shahih dan sharih berikut ini sebagai landasan bahwa hukum bolehnya mut’ah telah dihapus oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala- dan Rasulnya -Shalallahu alaihi wa salam-. 

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKAN NIKAH MUT’AH
1. Al-Qur’an
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu’minun: 5 – 7 dan QS. Al-Ma’arij: 29 – 31)
Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengharamkan atas orang-orang mu’min segala macam kemaluan kecuali kemaluan yang telah Allah -Subhanahu wa ta’ala- halalkan melalui akad pernikahan yang syar’i atau budak yang dimiliki.[6] Sedangkan apabila seseorang berada diatas seorang wanita secara mut’ah maka wanita tersebut bukanlah istrinya yang sah karena tidak dinikahi.[7] Ada 20 perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir al-Muhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak yang dimiliki.[8] Perbedaan tersebut adalah :
  1. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan
  2. Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan mut’ah
  3. Boleh mut’ah lebih dari 4 wanita bahkan ribuan
  4. Mut’ah selesai (jika habis masanya) tanpa ada perceraian
  5. Pasangan mut’ah boleh kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah diselingi pasangan lain ataupun tidak
  6. Boleh mut’ah dengan wanita musyrik
  7. ‘Iddah mut’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan
  8. Wanita yang dimut’ah mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada pasangannya
  9. Orang yang mut’ah tidak dianggap sebagai orang yang sudah menikah (muhshan)
  10. Boleh mut’ah dengan wanita yang memiliki suami
  11. Boleh mut’ah dengan pelacur
  12. Boleh mut’ah dengan gadis selama tidak merusak kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang masih menyusui[9])
  13. Tidak ada li’an[10] dalam mut’ah
  14. Tidak ada dhihar[11] dalam mut’ah
  15. Tidak ada ila’[12] dalam mut’ah
  16. Tidak ada nafkah bagi wanita yang dimut’ah
  17. Tidak ada tempat tinggal bagi wanita dalam mut’ah
  18. Boleh mensyaratkan dalam mut’ah untuk tidak melakukan jima’
  19. Boleh melakukan ‘azl dalam mut’ah tanpa harus izin kepada wanita yang dimut’ah
  20. Tidak ada khulu’[13] dalam mut’ah
  21. Boleh mut’ah dengan saudari istri sendiri (ipar)[14]
Banyaknya perbedaan antara wanita yang dimut’ah dengan wanita yang dinikahi atau budak yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak, sehingga mut’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya termasuk melampaui batas. Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas diturunkan (ketika Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- hidup) maka menjadi haram hukum mut’ah.

2.As-Sunnah
Hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa mut’ah haram sejak Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- hidup sangat banyak. Diantara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut.

Hadits pertama.
عن محمد بن علي عن علي بن أبي طالب : ” أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر ، وعن أكل لحوم الحمر الإنسية
Dari Muhammad bin ‘Ali dari ‘Ali bin Abi Thalib: “bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- melarang mut’ah dengan wanita pada hari (perang) Khaibar, dan juga melarang memakan daging keledai jinak.”[15]
Riwayat tersebut di atas selain diriwayatkan oleh para imam ahli hadits Ahlus Sunnah, juga telah diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah. Husain al-Musawi, seorang ulama Syi’ah yang telah bertaubat menulis kesaksiannya dalam kitab Lillah tsumma lit Tarikh[16], tentang riwayat tersebut di atas dalam kitab-kitab Syi’ah. Riwayat tersebut berbunyi:
قال أمير المؤمنين صلوات الله عليه:) حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة ( انظر (التهذيب 2/186)، (الاستبصار 2/142)، (وسائل الشيعة 14/441).
Berkata Amirul Mu’minin shalawatullah ‘alaih : “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah mengharamkan pada hari (perang) Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah” (Lihat at-Tahdzib 2/186, al-Istibshar 2/142, Wasailus Syi’ah 14/441)[17]
Perang khaibar terjadi pada Bulan Muharram tahun 7 H dan termasuk perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-[18]. Maka tidak samar lagi bahwa keharaman mut’ah telah disampaikan langsung oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- kepada para sahabatnya y. Bahkan Imam terbesar Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib -Radiallahu anhu- sendiri yang menyampaikan riwayat tersebut dari Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-.

Hadits kedua.
عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَامَ أَوْطَاسٍ فِى الْمُتْعَةِ ثَلاَثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا.
Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya, ia berkata: “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah memberi rukhshakh (keringanan) pada tahun Authas tentang mut’ah sebanyak 3 kali kemudian melarang atasnya”[19]
Nikah mut’ah pada masa jahiliyyah hukumnya adalah mubah.[20] Pada masa awal Islam hal ini masih diperbolehkan[21], kemudian datang syari’at Islam yang sempurna untuk menghapus hukum tersebut. Lafadz (رخص) menunjukkan bahwa pada dasarnya mut’ah itu terlarang, kemudian dibolehkan secara rukhshakh (darurat). Hal ini disebabkan para sahabat dalam peperangan yang melelahkan tidak dapat melampiaskan hajatnya, sehingga sebagian mereka berkeinginan untuk mengebiri diri mereka sendiri. Ibaratnya adalah seperti orang yang kelaparan dan ia tidak mendapatkan sesuatu apapun untuk dimakan selain daging babi, maka dalam kondisi darurat ini dibolehkan baginya memakan babi tersebut.[22] Oleh karena itu nikah mut’ah yang terjadi pada masa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dilaksanakan sama seperti pernikahan syar’i pada umumnya, hanya saja disana ada pembatasan waktu pernikahan.[23] Kemudian Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- mencabut rukhshakh tersebut dengan lafadz (ثم نها عنها).[24]
Hadits ketiga
عَنْ الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَىْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا ».
Dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwasanya dia pernah bersama Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- maka beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan bagi kalian mut’ah dengan wanita, dan sesungguhnya Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengharamkan mut’ah tersebut sampai hari kiamat. Barang siapa yang memiliki sesuatu (ikatan mut’ah) dengan wanita-wanita maka hendaknya ia lepaskan jalannya dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka.”[25]
Hadits di atas semakin menguatkan bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Allah -Subhanahu wa ta’ala- melalui lisan Rasul-Nya yang mulia -Shalallahu alaihi wa salam-. Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- mengumumkan larangan tersebut pada hari Fathu Makkah. Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap shahih Muslim menjelaskan panjang lebar tentang pendapat para Ulama dalam masalah ini. Ringkasnya adalah mut’ah pada awal Islam diperbolehkan, kemudian diharamkan pada perang Khaibar, kemudian dibolehkan lagi selama 3 hari pada perang Fathu Makkah yaitu pada hari Authas kemudian diharamkan pada hari itu juga dengan pengharaman selama-lamanya sampai hari kiamat[26]. Dan penegasan keharaman ini disampaikan lagi oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- pada haji wada’[27].

Hadits sahabat Jabir -Radiallahu anhu- yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya secara hukum telah dihapus oleh dalil-dalil lain yang lebih shahih dan sharih. Mut’ah secara jelas telah terbukti diharamkan langsung oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala- baik melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an maupun melalui lisan Nabi-Nya -Shalallahu alaihi wa salam-. Hal tersebut telah menjadi ijma’ sahabat Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-.

Sumber : http://www.gensyiah.com

[1] Makalah ini disampaikan untuk presentasi mata kuliah Studi Hadis oleh Harno Purwanto pada Jurusan Magister Pemikiran Islam UMS-DDII.
[2] Andita dan Dwi Nugroho, Kawinilah Aku, Kau Kukontrak (Media Indonesia: 5 Oktober 1997) dalam Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Jakarta: LPPI. Cet V. 2002) hlm. 259-260
[3] Internet, Media Arab Bahas Maraknya Nikah Mut’ah di Indonesia (http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9132:media-arab-bahas-maraknya-nikah-mutah-di-indonesia&catid=1:nasional&Itemid=54). Masalah ini juga sudah ditulis secara berseri pada berita utama (halaman muka) harian Jawa Pos selama 3 hari beruntun tanggal 11-13 Mei 2009 oleh Agung Putu Iskandar, Pergi ke Puncak ketika Musim Turis Timur Tengah Tiba (1-3). (http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=68557)
[4] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari (Maktabah Syamilah) j. 14, hlm. 288
[5] Muhammad bin Mukarram al-Mishri, Lisanul ‘Arab (Beirut: Dar Shadir, cet I, TT) j. 2, hlm. 625
[6] Yusuf Jabir al-Muhammady, Tahrimul Mut’ah fil Kitabi was Sunnah (http://www.ansar.org/books/Motaa.zip) hlm. 5
[7] Sulaiman bin Shalih al-Khurrasyi, al-Farqu baina: Zawajil Musayyar wa Zawajil Mut’ah waz Zawajil ‘urfi (http://www.saaid.net/Warathah/Alkharashy/m/74.htm)
[8] Mamduh Farhan al-Buhairi, asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim (Indonesia: Dar al-Faruq lin Nasyr wat Tauzi’, cet I, 1422 H) hlm. 208
[9] Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Indonesia: Maktabah Dahlan, TT), j. 2 hlm. 1022, hadits no 16 (1405) dan Maktabah Syamilah j. 9 hlm. 102 hadits no 3482
[10] Penentuan hukum hadits ini mengikuti metode tesis hadits Universitas Yordania tahun 1996 M yang ditulis ‘Ali bin Ibrahim bin Su’ud ‘Ajin, Mukhalafatul Kuffar fis Sunnah an-Nabawiyyah (Aman: Darul Ma’ali, 1419 H), hlm. 9, dia berkata: “Apabila hadits tersebut berasal dari Ash-Shahihain atau dari salah satunya maka saya tidak menghukumi atasnya karena peneriamaan umat pada keduanya dengan sebenar-benar penerimaan .”
[11] ‘Adurrazzaq ash-Shan’ani, Mushnaf ‘Abdirrazzaq (Maktabah Syamilah), j. 7, hlm. 500 no. 14028
[12] Abu ‘Uwanah, Mustakhraj Abi ‘Uwanah (Maktabah Syamilah), j. 8, hlm. 372, no. 3331
[13] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi (Maktabah Syamilah), j. 2, hlmn. 253, no. 14758.
[14] Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur (Maktabah Syamilah), j. 2, hlm. 174, no. 2463, lihat juga Abdurrazaq, Mushnaf Abdirrazaq (Maktabah Syamilah), j. 7, hlm. 152, no. 12594 dan Majalah Qiblati Ed 02 tahun IV/ November 2008, hlm. 56-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron telah berkomentar