SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya…” (QS. An Nuur: 31)
Tentang
ayat dalam surat An Nuur yang artinya “kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya”, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
sehingga membawa konsekuensi yang berbeda tentang hukum penggunaan
cadar bagi seorang muslimah. Untuk penjelasan rinci, silakan melihat
pada artikel yang sangat bagus tentang masalah ini pada artikel Hukum Cadar di www.muslim.or.id.
Dari
syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah untuk menutup
seluruh badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka, sangat
menyedihkan ketika seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab, tapi
dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari bagian depan ataupun
belakang, lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan
telinganya terlihat jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya
ditutupi.
Catatan penting dalam poin ini adalah
penggunaan khimar yang merupakan bagian dari syari’at penggunaan jilbab
sebagaimana terdapat dalam ayat selanjutnya dalam surat An Nuur ayat
31,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dadanya.”
Khumur
merupakan jamak dari kata khimar yang berarti sesuatu yang dipakai
untuk menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar ini sering
dilalaikan oleh muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai jilbab
saja atau hanya khimar saja. Padahal masing-masing wajib dikenakan,
sebagaimana terdapat dalam hadits dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat
dalam surat Al Ahzab di atas, ia berkata, “Yakni agar mereka melabuhkan
jilbabnya. Sedangkan yang namanya jilbab adalah qina’ (kudung) di atas
khimar. Seorang muslimah tidak halal untuk terlihat oleh laki-laki
asing kecuali dia harus mengenakan qina’ di atas khimarnya yang dapat
menutupi bagian kepala dan lehernya.” Hal ini juga terdapat dalam atsar
dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
“Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab dan khimar.” (HR. Ibnu Sa’ad, isnadnya shahih berdasarkan syarat Muslim)
Namun
terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause yang tidak ingin
kawin sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan jilbabnya,
sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ
جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “pakaian” pada ayat di atas
adalah “jilbab” dan hal serupa juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud.
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Baihaqi). Dapat pula diketahui di
sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan sebelum jilbab adalah
menutupi dada. Lalu bagaimana bisa seseorang dikatakan memakai jilbab
jika hanya sampai sebatas leher? Semoga ini menjadi renungan bagi
saudariku sekalian.
Gambar di atas adalah contoh tampilan
khimar dan jilbab. Khimar dikenakan menutupi dada. Setelah itu baru
dikenakan jilbab di atasnya. (warna, bentuk dan panjang pakaian dalam
gambar hanyalah sebagai contoh).
Catatan penting lainnya
dari poin ini adalah terdapat anggapan bahwa pakaian wanita yang sesuai
syari’at adalah yang berupa jubah terusan (longdress), sehingga ada
sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk menyambung-nyambung baju
dan rok agar dikatakan memakai pakaian longdress. Lajnah Daimah pernah
ditanya tentang hal ini, yaitu apakah jilbab harus “terusan” atau
“potongan” (ada pakaian atasan dan rok bawahan). Maka jawaban Lajnah
Daimah, “Hijab (baca: jilbab) baik terusan ataukah potongan, keduanya
tidak mengapa (baca: boleh) asalkan bisa menutupi sebagaimana yang
diperintahkan dan disyari’atkan.” Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul
Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota
(Fatawa Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791, Maktabah Syamilah).
Dengan demikian, jelaslah tentang tidak benarnya anggapan sebagian
muslimah yang mempersyaratkan jubah terusan (longdress) bagi pakaian
muslimah. Camkanlah ini wahai saudariku!
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya…”
Ketika jilbab dan pakaian wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan
mereka tidak nampak, maka tidak tepat ketika menjadikan pakaian atau
jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan awal untuk menutupi perhiasan
menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul karena poin ini
terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja menggunakan jilbab
dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga yang
cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan
berbagai pernak-pernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun,
terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang tidak mengenakan
jilbab berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi sebagai
perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan para
sahabat wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengenakan pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah
atsar dari Ibrahim An Nakhai,
أنه كان يدخل مع علقمة و الأسود على أزواج النبي صلى الله عليه و سلم و يرا هن في اللحف الحمر
“Bahwa
ia bersama Alqomah dan Al Aswad pernah mengunjungi para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia melihat mereka mengenakan
mantel-mantel berwarna merah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf)
Catatan:
Masalah warna ini berlaku bagi wanita. Adapun bagi pria, terdapat
hadits yang menerangkan pelarangan penggunaan pakaian berwarna merah.
Dengan
demikian, tolak ukur “Pakaian perhiasan ataukah bukan adalah
berdasarkan ‘urf (kebiasaan).” (keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi).
Sehingga suatu warna atau motif menarik perhatian pada suatu masyarakat
maka itu terlarang dan hal ini boleh jadi tidak berlaku pada masyarakat
lain.
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ
الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ
رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua
kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya, suatu kaum
yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan
cambuknya dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik
karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat
(bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka
seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan
baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian dan
demikian.” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik)
Ambil
dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena ancamannya demikian
keras sehingga para ulama memasukkannya dalam dosa-dosa besar. Betapa
banyak wanita muslimah yang seakan-akan menutupi badannya, namun pada
hakekatnya telanjang. Maka dalam pemilihan bahan pakaian yang akan kita
kenakan juga harus diperhatikan karena sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Abdil Barr, “Bahan yang tipis dapat menggambarkan bentuk tubuh dan
tidak dapat menyembunyikannya.” Syaikh Al Bani juga menegaskan, “Yang
tipis (transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh
(tapi tebal).” Bahkan kita ketahui, bahan yang tipis terkadang lebih
mudah dalam mengikuti lekuk tubuh sehingga sekalipun tidak transparan,
bentuk tubuh seorang wanita menjadi mudah terlihat.
4. Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain
kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah
longgar, tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita
muslimah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid
ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada
istrinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
“Perintahkanlah
ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya
khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tubuh.” (HR. Ad Dhiya’ Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Maka
tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan memakai rok, namun
ternyata tetap memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya. Maka jika
pakaian tersebut telah cukup tebal dan longgar namun tetap
memperlihatkan bentuk tubuh, maka dianjurkan bagi seorang muslimah untuk
memakai lapisan dalam. Namun janganlah mencukupkan dengan kaos kaki
panjang, karena ini tidak cukup untuk menutupi bentuk tubuh (terutama
untuk para saudariku yang sering tersingkap roknya ketika menaiki motor
sehingga terlihatlah bentuk betisnya). Poin ini juga menjadi jawaban
bagi seseorang yang membolehkan penggunaan celana dengan alasan longgar
dan pinggulnya ditutupi oleh baju yang panjang. Celana boleh digunakan
untuk menjadi lapisan namun bukan inti dari pakaian yang kita kenakan.
Karena bentuk tubuh tetap terlihat dan hal itu menyerupai pakaian kaum
laki-laki. (lihat poin 6). Jika ada yang beralasan, celana supaya
fleksibel. Maka, tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih fleksibel
lagi jika memang sesuai persyaratan (jangan dibayangkan rok yang
ketat/span). Kalaupun rok tidak fleksibel (walaupun pada asalnya
fleksibel) apakah kita menganggap logika kita (yang mengatakan celana
lebih fleksibel) lebih benar daripada syari’at yang telah Allah dan
Rasul-Nya tetapkan. Renungkanlah wahai saudariku!
5. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Perhatikanlah salah satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan tentang wanita-wanita yang memakai wewangian ketika keluar rumah,
ايّما امرأةٍ استعطرتْ فمَرّتْ على قوم ليَجِدُوا رِيْحِها، فهيا زانِيةٌٍ
“Siapapun
perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar
mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. Tirmidzi)
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الاخرة
“Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat isya’.” (HR. Muslim)
Syaikh
Al Bani berkata, “Wewangian itu selain ada yang digunakan pada badan,
ada pula yang digunakan pada pakaian.” Syaikh juga mengingatkan tentang
penggunaan bakhur (wewangian yang dihasilkan dari pengasapan) yang ini
lebih banyak digunakan untuk pakaian bahkan lebih khusus untuk
pakaian. Maka hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan
segala jenis bahan yang dapat menimbulkan wewangian pada pakaian yang
kita kenakan keluar, semisal produk-produk pelicin pakaian yang
disemprotkan untuk menghaluskan dan mewangikan pakaian (bahkan pada
kenyataannya, bau wangi produk-produk tersebut sangat menyengat dan
mudah tercium ketika terbawa angin). Lain halnya dengan produk yang
memang secara tidak langsung dan tidak bisa dihindari membuat pakaian
menjadi wangi semisal deterjen yang digunakan ketika mencuci.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat
hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang wanita menyerupai
laki-laki atau sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja). Salah
satu hadits yang melarang penyerupaan dalam masalah pakaian adalah
hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و المرأة تلبس لبسة الرجل
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam perkara lahir
mengakibatkan kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan.”
Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan
terpengaruh dengan perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan
badannya dan menghilangkan rasa malu yang disyari’atkan bagi wanita.
Bahkan yang berdampak parah jika sampai membawa kepada maksiat lain,
yaitu terbawa sifat kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai
sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
Terdapat dua landasan
yang dapat digunakan sebagai acuan bagi kita untuk menghindari
penggunaan pakaian yang menyerupai laki-laki.
- Pakaian tersebut membedakan antara pria dan wanita.
- Tertutupnya kaum wanita.
Sehingga
dalam penggunaan pakaian yang sesuai syari’at ketika menghadapi yang
bukan mahromnya adalah tidak sekedar yang membedakan antara pria dan
wanita namun tidak tertutup atau sekedar tertutup tapi tidak membedakan
dengan pakaian pria. Keduanya saling berkaitan. Lebih jelas lagi
adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Kawakib
yang dikutip oleh syaikh Al Bani, yang penulis ringkas menjadi
poin-poin sebagai berikut untuk memudahkan pemahaman,
- Prinsipnya bukan semata-mata apa yang dipilih, disukai dan biasa dipakai kaum pria dan kaum wanita.
- Juga bukan pakaian tertentu yang dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang dikenakan oleh kaum pria dan wanita di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Jenis pakaian yang digunakan sebagai penutup juga tidak ditentukan (sehingga jika seseorang memakai celana panjang dan kaos kemudian menutup pakaian dan jilbab di atasnya yang sesuai perintah syari’at sehingga bentuk tubuhnya tidak tampak, maka yang seperti ini tidak mengapa -pen)
Kesimpulannya,
yang membedakan antara jenis pakaian pria dan wanita kembali kepada
apa yang sesuai dengan apa yang diperintahkan bagi pria dan apa yang
diperintahkan bagi kaum wanita. Namun yang perlu diingat, pelarangan
ini adalah dalam hal-hal yang tidak sesuai fitrahnya. Syaikh Muhammad
bin Abu Jumrah rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al Bani
mengatakan, “Yang dilarang adalah masalah pakaian, gerak-gerik dan
lainnya, bukan penyerupaan dalam perkara kebaikan.”
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
Banyak
dari poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya menjadi terasa berat
untuk dilaksanakan oleh seorang wanita karena telah terpengaruh dengan
pakaian wanita-wanita kafir. Betapa kita ketahui, mereka (orang kafir)
suka menampakkan bentuk dan lekuk tubuh, memakai pakaian yang
transparan, tidak peduli dengan penyerupaan pakaian wanita dengan pria.
Bahkan terkadang mereka mendesain pakaian untuk wanita maskulin! Hanya
kepada Allah-lah kita memohon perlindungan dan meminta pertolongan
untuk dijauhkan dari kecintaan kepada orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada
mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57]: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Firman Allah, ‘Janganlah mereka seperti…’ merupakan larangan
mutlak dari tindakan menyerupai mereka….” (Al Iqtidha, dikutip oleh
Syaikh Al Bani)
8. Bukan Pakaian Untuk Mencari Popularitas
“Barangsiapa
mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia,
niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian
membakarnya dengan api naar.”
Adapun libas syuhrah
(pakaian untuk mencari popularitas) adalah setiap pakaian yang dipakai
dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik
pakaian tersebut mahal, yang dipakai seseorang untuk berbangga dengan
dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah yang
dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudan dan dengan tujuan riya.
(Jilbab Muslimah)
Namun bukan berarti di sini seseorang
tidak boleh memakai pakaian yang baik, atau bernilai mahal. Karena
pengharaman di sini sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani adalah
berkaitan dengan keinginan meraih popularitas. Jadi, yang dipakai
sebagai patokan adalah tujuan memakainya. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala suka jika hambanya menampakkan kenikmatan yang telah Allah
berikan padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah menyukai jika melihat bekas kenikmatan yang diberikan oleh-Nya ada pada seorang hamba.” (HR. Tirmidzi)
PENUTUP
Demikian
sedikit penjelasan tentang pengertian jilbab dan penjelasan dari
poin-poin tentang persyaratan jilbab muslimah yang sesuai syari’at.
Saudariku… janganlah kita terpedaya dengan segala aktifitas dan
perkataan orang yang menjadikan seseorang cenderung merasa tidak mungkin
untuk menggunakan jilbab yang sesuai syari’at. Ingatlah, bahwa
sesungguhnya tidak ada teman di hari akhir yang mau menanggung dosa yang
kita lakukan. Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan ketika
menjalankan segala ibadah yang telah disyari’atkan. Semoga artikel ini
juga dapat menjawab berbagai pertanyaan dan komentar yang masuk pada
artikel-artikel sebelumnya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
Majalah Al Furqon, edisi 12 tahun III
Jilbab Muslimah. Syaikh Al Bani. Pustaka At Tibyan
Maktabah Syamilah
***
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Syukron telah berkomentar